Pesantren dan Tanggung Jawab Ekologis Umat

artikel ini terbit di Kompasiana.com

Ahmaddahri.my.id- Filsafat jawa yang sangat popular dan kerap kali dijumpai adalah ungkapan tentang menjaga stabilitas alam semesta, “mamayu hayu ning bawana”. Secara harfiah berarti menjaga keindahan dan keseimbahan alam semesta. Dalam praktiknya menjaga lebih berat ketimbang membangun, pun menanam.

Dalam konsep syariatnya juga jelas, Qs: Al-A’raf ayat 56 menegaskan bahwa “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” Artinya, ayat ini disampaikan oleh Tuhan bukan sebatas informasi atau perintah semata, tetapi juga berkaitan dengan keimanan manusia sebagai hamba atas segala Kekuasaan Tuhan. Pendek kata, menjaga lingkungan adalah bagian dari proses keimanan.

Sumber Gambar: Pixabay


Realita yang sering terjadi adalah bencana alam. Hujan deras yang mengguyur berbagai wilayah Indonesia belakangan ini kembali membawa berita duka, banjir di kaki gunung, longsor di daerah perbukitan, sampah yang belum menemukan solusi tepat gunanya, sungai yang volume airnya melebihi kapasitasnya, dan genangan yang merambah pemukiman padat. Kalau tidak percaya bisa dichek di sosmednya masing-masing.  

Alam seolah sedang menagih pertanggungjawaban manusia. Ia tidak lagi bersahabat, karena terlalu lama memperlakukannya sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Manusia memang khalifah fil ard, dengan segala kecenderungan dan kelenaannya. Akan tetapi kembali lagi (kepada kesadaran) bahwa alam menyediakan segala sesuatu untuk saling melengkapi kebutuhan penghuninya, bukan sebaliknya. Ada prinsip kesalingan yang – entah dilupakan atau sengaja menutup mata dan telinga.

Sejarah kita mencatat bahwa sistem pendidikan kultur di masa lalu adalah pesashtrian, tempat di mana orang belajar sastra, mengolah hidup, membangun kesadaran, serta menumbuhkan spiritualitas, intelektualitas dan sensitifitasnya. Hari ini kita kenal lembaga pendidikan itu dengan pesantren.

Bukan berarti lembaga di luar pesantren tidak memiliki fungsi itu, namun peran besar dalam membangun kesadaran itu sejatinya sudah mendarah daging dalam sistem pendidikan yang disebut pesanten. Ada kesadaran lingkungan yang harus dijaga, bukan dengan membayar orang lain dalam bidang kebersihan, kesehatan, makanan dan lain sebagainya. Artinya ada konsep kesadaran yang sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan itu di pesanten. Salah satunya adalah konsep ro’an.

Pada titik ini, kesadaran akan lingkungan agaknya menjadi tanggung jawab pesantren juga dalam menjaga stabilitas alam, penghijauan, reboisasi, konservasi dan lain sebagainya. Karena sekali lagi, menjaga stabilitas alam semesta adalah bagian dari menjaga keimanan kepada Tuhan.

Kerusakan alam sejatinya bukan semata persoalan teknis, tetapi juga krisis spiritual dan moral manusia. Pohon ditebang tanpa reboisasi, sampah menumpuk di sungai, dan tanah kehilangan kemampuan menyerap air, semua itu berawal dari hilangnya rasa syukur dan tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan.

Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41) Ayat ini bukan sekadar nubuat ekologis, tetapi peringatan moral. Alam rusak karena manusia lupa bahwa dirinya hanyalah khalifah fil-ardh, wakil Tuhan di bumi, bukan penguasa yang bebas merusak. Ketika amanah itu diabaikan, bumi kehilangan keseimbangannya, dan bencana menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.

Dari Benteng Moral ke Benteng Ekologi

Pesantren adalah lembaga yang unik. Ia tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga menanamkan nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan kemandirian. Nilai-nilai ini sesungguhnya adalah inti dari etika ekologis Islam, hidup secukupnya, tidak berlebihan, dan menghormati keteraturan alam. Kini, pesantren perlu mengambil langkah lebih konkret: menjadi pusat kesadaran ekologis masyarakat.

Gerakan eco-pesantren bukan sekadar tren, tapi panggilan zaman. Melalui kegiatan penghijauan, konservasi air, pengelolaan sampah, dan pertanian organik, pesantren dapat menunjukkan bahwa ibadah tidak berhenti di sajadah, tetapi juga tumbuh di ladang, di sungai, dan di setiap pohon yang mereka rawat. Maka menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian dari iman yang hidup, bukan sekadar slogan.

Dalam filsafat Islam, tauhid tidak hanya menyatukan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan seluruh ciptaan. Alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah).

Ketika manusia merusaknya, ia sejatinya sedang mengingkari ayat-ayat itu. Al-Qur’an menegaskan “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keseimbangan). Supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 7–8)

Konsep mizan atau tawazzun ini menjadi dasar filsafat ekologis Islam yaitu menjaga keseimbangan adalah ibadah, sedangkan melampauinya adalah dosa sosial sekaligus spiritual.

Pesantren, dengan tradisi tafsir dan tasawufnya, memiliki kekayaan spiritual untuk menanamkan kesadaran ini kepada para santrinya — bahwa mencintai alam berarti mencintai Sang Pencipta.

Kesadaran tanpa aksi adalah ilusi. Pesantren memiliki kekuatan sosial yang nyata, ribuan santri, jaringan alumni, dan kedekatan dengan masyarakat. Kekuatan ini bisa diarahkan untuk membangun gerakan sosial-ekologis, misalnya penanaman pohon, pengelolaan sampah, penghematan air, dan pengembangan pertanian berkelanjutan.

Dakwah lingkungan dapat menjadi jalan baru dakwah bil hal atau dakwah dengan tindakan nyata. Pesan nabi Muhammad bahwa “Jika kiamat akan terjadi sementara di tanganmu ada bibit tanaman, maka tanamlah.” (HR. Ahmad) Artinya, sekecil apa pun upaya menjaga bumi, tetap bernilai ibadah.

Dari sinilah pesantren dapat memimpin gerakan perubahan sebuah revolusi hijau berbasis iman. Menjaga bumi menegakkan iman. Dalam konteks yang lebih luas, panggilan ekologis ini juga diakui negara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan setiap individu.

Sementara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memberi landasan bagi pesantren untuk berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat, termasuk dalam bidang sosial dan lingkungan.

Keduanya berpadu: hukum negara dan nilai agama saling menopang dalam mewujudkan bumi yang lestari. Alam sedang berbicara dengan bahasanya sendiri lewat banjir, longsor, dan kekeringan. Seruannya jelas bahwa kembalilah menjadi manusia yang beriman dan berakal sehat.

Pesantren, dengan nilai spiritual dan sosialnya, memiliki peluang besar menjadi penjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Menjaga bumi bukan sekadar tanggung jawab ekologis, melainkan tugas keagamaan dan kebangsaan.

Ketika pesantren menanam pohon, membersihkan sungai, dan mengajarkan cinta bumi, mereka sesungguhnya sedang menegakkan makna rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam.

Dan mungkin, dari halaman-halaman pesantren yang hijau dan bersahaja itulah, akan lahir generasi baru santri yang bukan hanya hafal kitab, tetapi juga membaca ayat-ayat Tuhan yang hidup di pepohonan dan sungai.[]

Komentar