"Kalau engkau seorang sopir taksi, angguna, atau angkutan lainnya, atau barangkali engkau tukang becak dan pada menit dan jam tertentu, siang itu engkau melintas di jalan tertentu, lantas pada detik tertentu muncul seseorang dari gang kampung dan melambaikan tangan lalu memanggil kendaraanmu, aku bertanya; siapakah yang mengatur pertemuan kalian pada detik itu?"
Emha Ainun Nadjib - Tuhan pun Berpuasa
Sudah sampai mana pejalan kita saat ini? bolehkah kita saling berbagi, atau sekedar sharing beberapa hal yang mungkin bisa saling mengambil manfaat dan pengetahuan baru dari apa saja yang sedang atau sudah kita alami. Hidup adalah serangkaian dari kisi-kisi dan pertanyaan yang pelan pun cepat sekalipun harus dicari jawabannya.
Sabrang pernah menyodorkan hipotesis antroposentrisnya bahwa kesadaran manusia dalam hidup ini adalah menyadari bahwa hidup senantiasa memproduksi masalah-masalah, dan sebaiknya kita senantiasa memproduksi solusi-solusi. Bahwa setiap perjalanan pasti berjumpa dengan berbagai hal, bukan lantas itu menjadi rintangan untuk meneruskan perjalanan, melainkan pembelajaran dan perenungan untuk lebih bersiap atas perjumpaan-perjumpaan selanjutnya.
Mbah Nun yang tepat hari ini menginjak di usia yang ke-72 kerap kali melambari anak cucu dengan berbagai abstraksi kehidupan dari berbagai sisi dan pendekatan. Mengambil ilmu dan pengetahuan sebagai media perenungan untuk kesiapan dan memantaskan diri dalam rangkaian rakaat-rakaat panjang kehidupan. Jariahnya tidak dapat kita ukur, yang bisa anak cucu resapi, renung dan aplikasikan adalah pentadabburan-pentadabburan yang disampaikan Mbah Nun dari lingkar maiyah satu ke lingkar maiyah yang lain, dari kampung-kampung, desa-desa, gang-gang dan - bahkan instansi dalam dan luar negeri.
![]() |
Sumber Gambar: Caknun.com |
Tugas anak cucu bukan semata mendoakan atau mengagumi pemikiran dan berbagai gerak dari niat sampai sujud dan tahiyat bahkan salam Mbah Nun, melainkan menjadi diri sendiri dan mengelaborasikan nilai-nilai spiritualitas dan intelektualitas yang sudah dilambarkan sejak dulu oleh Mbah Nun. Di perahu Maiyah bukan berarti mengambil porsi untuk menjadi Mbah Nun, melainkan belajar bersama, sinahu bareng untuk memantapkan diri sendiri, yang - kebetulan Allah mengirimkan Mbah Nun untuk membersamai.
Maiyah, Work Shop dan berbagai pendekatan elaboratif yang ditanamkan oleh Mbah Nun, Syaih Nursamad Kamba, Umbu Landu Paranggi, Kyai Mujamil, Rendra dan semua Marja' Maiyah, Mbah Fuad, Mbah Dil, Mbah Nas, sampai pada Lek Hammad, adalah bukti bahwa (sikap dan sadar) menanam sebagai pondasi penting untuk proses memantaskan diri, lalu memantapkan diri, sebagai taqwa kepada Tuhan, pun juga sebagai olah rasa, olah pikir, olah cipta yang maslahah bagi segenap alam.
Dari pelajaran mikul duwur mendhem jero, Mbah Nun kerap menegaskan untuk tidak lali asal usul, sehingga jangan asal usul, asal ngegas, asal njeplak dan asal katut. Mensyukuri anugerah Allah yang berupa ahsan attaqwim, ide gagasan dan berbagai kecerdasan, kreatifitas, kelebihan dan kekurangan, keberagaman dan kesamaan, bukan hanya sebatas disusun dan dilantangkan dengan kalimat indah, puisi, gurindam atau berbagai sajak yang menghipnotis. Melainkan dengan mengenal, merenungi, melaksanakan dan mengevaluasi alhasil dapat diukur, jarak, sudut dan ruang pandangnya.
Mbah Nun pernah mengatakan bahwa Tuhan Tidak Menuntut Kita untuk Sukses, Tuhan Hanya Menyuruh Kita Berjuang Tanpa Henti. Wis toh, yakin iso, iso, iso. Tentu ini kerap kita dengar - baca dan temui di berbagai sosmed kesayangan. Tadabbur yang bisa kita ambil adalah semangat dan maslahat. Khairunnas anfa'uhum linnas, tugasnya adalah berbagi senyum, bungah, rokok dan kopi, serta tidak menyakiti apalagi sampai memakan daging manusia yang lain.
Pelambarannya jelas, bahwa Mbah Nun, Shodaqoh, duduk bareng, sinahu bareng, maiyahan, 9 asas maiyah, adalah menjadi bekal kita anak cucu menjadi manusia yang mandiri dan memiliki sensitivitas membangun, mengangkat saudara yang terjerembab di lubang-lubang egoisme, sumbu pendek, nafsuan, pun juga menyadari bahwa keberlangsungan hidup bukan semata berakar dari takdir Allah, melainkan jalinan komunikasi dan hubungan yang mesra dengan sesama manusia dan alam, untuk meraihnya adalah dengan gondelan klambine kanjeng Nabi Muhammad.
Mbah Nun memiliki kepercayaan yang besar terhadap anak cucu, terhadap generasi muda, karena tonggak estafet keberlangsungan hidup ada di tangan kita. Oleh karena itu, mengaplikasikan, mengamalkan, ngelmoni hasil sinahu bareng dengan Mbah Nun selama ini menjadi salah satu upaya menjaga kepercayaan dan meneruskan semangat Mbah Nun. Paling tidak menyadari dan memahami kondisi terdekat kita, keluarga, teman dan lingkungan sekitar. Apapun bentuknya, adalah manfaat dan berdampak. Kuncinya adalah maslahah.
Maiyah menjadi ruang belajar, ruang kebersamaan, ruang berbagi, ruang menjalin menyatukan rasa, dan ruang untuk menumbuhkan kesadaran evaluasi diri, tidak merasa paling tinggi, atau paling rendah tetapi sejajar, duduk bersama, melingkar bersama.
Dalam praktiknya sekelumit yang terlambar di Malang adalah apa yang dilakukan oleh Mbah Yasin, Cak Majid dengan Kenduri Sholawatnya, Maiyah Relegi, Cak Bagong dengan Arremaiyahnya, Obor Ilahi di Gondanglegi dan akhirnya menjadi ruang dan cikal bakal semangat melingkar bersama maiyah Malang raya, Pak Eko inpo di Desa Banjarejo Pakis dengan gerakan sadar sosial dan lingkungannya, Gerakan Sadar Tradisi dan Budaya di Sukowilangun dan ArjowilangunKalipare, Gus Irul dengan Republik Gubuk, Teman-teman dari Munajat Jalanan, lingkar maiyah Pancasuman Brang Wetan dengan semangat Kenduri Kampungnya dan berbagai giat dari individu atau kelompok yang melambari Gerakan nya dengan semangat kebermanfaatan sedikit banyak tersumblimasi nilai dan tadabbur dari Mbah Nun. Termasuk pertemuan saya dengan Mas Jengki dengan semangat sastra dan puisinya, serta Mbah Neneng yang asli Malang Tirtoyudo, dan sekarang menjadi bagian dari perjalanan sunyi di sudut Bali yang lain.
Mbah Nun sudah meruang, sudah mengalir di urat nadi spirit sosial keberagaman, tanpa pandang dan tebas pilih. Tapi senantiasa mengingatkan kepada anak cucu untuk tidak lupa mikul duwur mendhem jero, bahwa para kadang, pini sepuh, Bapak dan ibu kita, serta alam semestalah yang menjadi titik balik semangat untuk menanam. Sederhananya, sankan paraning dumadi, adalah kesadaran untuk tidak lupa asal usul.
Pesan untuk tidak lupa terhadap asal usul juga menjadi pesan yang dalam, kala itu tahun 2017 pernah disampaikan oleh Pak Umbu Landu Paranggi di Jatijagat Kampung Puisi bahwa Emha mengajak kita untuk senantiasa menziarahi diri sendiri, sampai sama sekali tidak dijumpai, kecuali perjumpaan dengan yang asal.
Walaupun lupa dan salah memang sifat dasar manusia, paling tidak lambaran Nun wal Qalami wa Maa Yasturun, menjadi titi wanci kita sebagai anak cucu si Mbah untuk senantiasa berbakti dan mengabdi pada asal dan usul. Perjalanan ini adalah perjalanan cinta, cinta dari Mbah kepada anak cucu. Yang nantinya menjadi lingkaran untuk mencintai kehidupan, mencintai ragam perjumpaan dan tidak berebut benar, justru mencari kebaikan dalam setiap perjumpaan-perjumpaan.
Mbah Nun mengajarkan kita terbebas dari kemelekatan apapun, seperti halnya pesan-pesan para pendahulu. Karena ujungnya adalah penghambaan, dari sanalah anugerah liqaauhum nadlratan wa syururan. Keceriaan dan kegembiraan.
Sugeng ambal warsa Mbah Nun, setulus doa dalam lambaran spirit Maiyah atas rahman rahimNya.[]
0 Komentar