Kendali itu Bernama Sensitifitas

Ahmaddahri.my.id - Setiap perjalanan akan menyajikan berbagai kisah, rekam, jejak, persimpangan, perjumpaan dan berbagai risau dan nilai. Tinggal bagaimana menangkap dan menyublimkan semua itu pada ruang kendali bernama sensitifitas, isa ngrumangsani, dan keluasan hati. Karena pada prinsipnya, hati menjadi kendali atas segala rupa baju dan sikap makhluk yang bernama manusia. 

Hati disebutkan dalam berbagai literasi sebagai server utama (Qalbun), yang - secara bahasa diartikan jantung. Pusat peredaran darah. Ia juga disebutkan sebagai Fuadun, yang secara bahasa berarti jernih karena lebih mendetaki pada rasa, perasaan, dan kepekaan. 

Dalam al-Quran, hati secara letterlek terdapat sekitar 269 penyebutan - yang artinya ada 17% dalam al-Quran yang mempertegas pola dan relasi "hati" dalam kehidupan baik secara komunal pun personal. 

Sumber Gambar: Pixabay/congerdesign

Kanjeng Nabi Muhammad dalam haditsnya dawuh, bahwasanya Kita ini kerap bermuka manis di depan setiap orang, padahal hati kita kerap mengutuk mereka. Lhawong  terhadap diri sendiri saja masih jauh dalam kata singkron, apalagi terhadap sesuatu yang di luar diri. 

Jadi, alangkah pentingnya menjadi kendali yang bernama sensitifitas itu. Hati, qalbun, fuadun ataupun manah, adalah ruang kendali dengan segala relasi sensitifitas itu sendiri. Kalau saja manusia hanya dibekali otak doang oleh Allah, maka daya kreativitas itu terbatas pada ketepatan saja secara ukuran atau presisi, tapi tidak indah, tidak mawarni-warni, tidak terjadi gumelaring jagad, karena yang ada hanya kepentingan tentatif saja. 

Mbah Nun pernah menyinggung tentang sensitifitas ini, bahwa sanya hakekatnya setiap manusia itu butuh kejernihan hati, hati yang tertata, hati yang selesai dan pikiran adil. Paulo Coelho juga demikian, bahwa manusia itu kerap berubah dan sangat dinamis pergerakannya, padahal harus seimbang dengan rasa yang murni, cinta misalnya. Bahwa cinta itu sendiri tidak pernah berubah, yang berubah adalah manusianya. 

Artinya, prinsip kejernihan hati, selesai dengan dirinya sendiri, ketertataan dan keadilan pikiran adalah rangkaian penting untuk sampai pada pondasi mental yang senantiasa punya sensitifitas. Jadi tidak semata intelektualitas dan spiritualitas, tetapi juga sensitifitas itu sangat penting. Asasnya adalah kecintaan, baik kepada Tuhan, sesama manusia dan alam. 

Kalimat yang sering kita dengar dalam pengajian dan khutbah-khutbah adalah man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, kalau saja kenal dengan dirinya sendiri maka ia akan kenal dengan siapa Pembimbingnya, siapa Tuhannya. Maka, hati bukan sebatas dihidupkan, tetapi juga digerakkan. Nilai menjadi pilar penting sebagai interpretasi dari geraknya hati, pun juga keberlangsunga rasa saling dan kesadaran akan muncul walaupun pelan. 

Pepatah jawa menegaskan bahwa elmu iku kelakone kanti laku, bahwa ilmu dan pengetahuan itu senantiasa bergerak bersama kejernihan dan ketertaan, maka adil dalam berpikir menjadi piranti penting menuju pada keondisi yang senantiasa terkendali, dan kendali itu bernama sensitifitas.[]

Komentar