Warisan Kearifan Leluhur, Tradisi Literatif, dan Cara Berpikir Biqadri Uqulihi

Ahmaddahri.my.id - Tradisi menulis di masa lalu menjadi bentuk kearifan dan peradaban literasi secara tidak langsung menegaskan tentang rangkaian kebudayaan yang melekat. Baik itu berkaitan dengan kondisi sosial keagamaan, pun juga relung kehidupan manusia secara pribadi dan komunal. Baik yang berkaitan dengan tradisi keagamaan; keimanan dan ritusnya, pun juga komunikasi dan berbagai kontek hubungannya sesama manusia, alam semesta dan Tuhannya. Di samping dari cerita tutur, pun dipertegas dengan adanya jejak literatif dalam bentuk kitab, serat, rontal ataupun prasasti sekalipun. 

Di Jerman, tepatnya di Perpustakaan Bagian Bavaria Munich, terdapat naskah kuno antara abad 17-18 yang menjelaskan tentang "Perjalanan Hamzah". Kita dapat membaca dan mengulik kitab tersebut, karena memang open acces. Kitab ini dapat diakses di website Archive.org dan dapat diunduh juga dalam berbagai format. 

Kisah tentang paman Kanjeng Nabi Muhammad yang ditulis menggunakan aksara pegon ini mengiringi penyebaran islam yang semakin luas. Islam sebagai nilai, pun juga islam sebagai ajaran syariat, tarikat dan hakikat. Secara substansi, Menak Amir Hamzah menawarkan kajian historisi dengan pola dan refleksi sosial dan keberagamaan. Sehingga dapat dielmuni atau direnungi ibrahnya. 

Menak Amir Hamzah ditulis oleh Ratu Ageng atau Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten (1730-1803) istri dari Hamengku Buwana I.  Sebagaimana tradisi kepenulisan di masa lalu, Menak Amir Hamzah menjadi realitas sejarah yang disebar tidak hanya dalam tradisi tutur, melainkan juga melalui tradisi tulis.  

Foto by Klimkin (Pixabay)

Tradisi tutur dan tradisi tulis, adalah salah satu bagian kebudayaan yang dimiliki oleh komunitas sosial pun manusia itu sendiri dengan ragam imaji, intuisi dan gagasan luhurnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa gugon tuhon menjadi satu realitas wejangan baik dari yang tua kepada yang muda, atau diskusi-diskusi lintas generasi, bahkan di warung-warung kopi, langgar, atau di gang-gang kecil perkotaan dan di sunyinya malam pedesaan. 

Salah satu dari warisan leluhur itu adalah Menak Amir Hamzah dengan catatan yang tertulis di sana. Selain dapat diakses, catatan ini juga dapat menjadi salah satu pelengkap dari puzzel-puzzel peradaban yang sudah terkubur lama. Baik itu kajian sejarah, kemegahan di masa lalu, dan berbagai peristiwa lainnya. Kita perlu membaca kembali dan mengambil ide dan nilai dari setiap warisan leluhur. 

Perkara nantinya akan berdampak atau tidak, agaknya bukan menjadi kunci utama. Justru dengan tidak membacanya, tidak mendiskusikannya, hanya akan menjadi kegemilangan sejarah. Lantas pertanyaan yang muncul apakah hanya untuk megah-megahan? karena yang jelas adalah bagaimana ke depan. 

Agaknya, tidak sedikit dari generasi penerus yang terjebak bada sisi kemegahan dan pengagungan masa lalu, tanpa mengambil nilai dan ide yang diusung. Untuk menciptakan peradaban tentunya adalah meramu dan mengumpulkan ide serta nilai yang beragam, kemudian dipadukan dan diaplikasikan. Baik secara moral, aturan dan pengetahuan, bukan sebatas gunggungan dan metafor-metafor hiperbolik semata. 

Menak Amir Hamzah memang menjadi catatan dari kisah Paman Kanjeng Nabi, tetapi bukan sebatas pembacaan tentang kisahnya, justru pada nilai yang dibawa, mengapa kisah ini bisa sampai ke negeri yang katanya kultur serta peradabannya lebih tua dari negeri-negeri lain ini? atau ada hubungan apa antara Nusantara dengan wilayah di sebelah barat, utara dan timurnya. Mengapa tradisi, nilai-nilai, produk budayanya juga terpaut satu sama lain? 

Artinya bukan terhenti pada gunggungan haluwarga, haluakademis atau klen-x semata. Energi di luar manusia pasti ada, itu adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang harus diyakini dan disyukuri. Namun, peradaban bukan semata tentang legenda atau kisah-kisah heroik dan kemegahan, tetapi juga kebijakan, dan tata kelola sosial. 

Bagaimana membangun komunikasi sosial dan lingkungan antara manusia satu dengan lainnya, antara manusia dengan lingkungannya, antara kemajemukannya dan berbagai pernak-pernik perkembangan manusia, sehingga sampai pada proses keberadaban. Problemnya adalah ngrumangsani dan bisa rumangsa. Tidak sedikit yang hanya terhenti pada "merasa" tetapi enggan untuk sinahu, belajar bersama, lebih-lebih kalau sudah klaim-klaim dogma dan justifikasi. 

Polanya tetap sama yaitu ketidaksinambungan akal dan nurani, bahwa manusia memang rentan yuwasfisufi sudlurinnaas, minal jinnati wa annaas, bahwa rasa untuk menatap kaca benggala dalam diri kerap terhenti karena parasaan yang enggan belajar, enggan sinahu, enggan mengevaluasi diri, sehingga kerap mengklaim bahwa keterhentian itu disebabkan oleh jin, setan bahkan manusia. 

Semisal pembacaannya adalah keengganan itu karena diri sendiri, dan sebagai manusia itu sendiri, lantas mau dibilang bahwa kesombongan dan keangkuhan itu justru lahir dari luar diri. Agaknya kok tidak demikian. Di samping memang terhenti pada kustomisasi, perhiasan, dan berbagai topeng-topeng, ada faktor lain yang justu menjadi jebakan besar yaitu kerasnya hati, sehingga tidak mau membaca kembali, tidak mau sinahu, apalagi berkaca. Kebenaran seakan milik sendiri, dan kesalahan adalah milik orang lain.  

Alhasil, agar kita tidak terjebak maka penting untuk senantiasa terkoneksi, dengan batin dan nurani. Membangun kesadaran dan penerimaan atas keberagaman. Kalaupun sejarah kita adalah sejarah yang megah, maka upaya yang bisa dilakukan adalah berbondong-bondong sinahu bareng, mengambil nilai dan ide dari kisah di masa lalu, sehingga kemegahan yang sudah diwariskan bukan sebatas kisah gunggungan, melainkan menjadi spirit untuk generasi penerus dalam menciptakan sejarahnya sendiri dengan berlandas pada warisan kearifan dan keluhuran di masa lalu. Sak madya mawon, sak darma mawon, biqadri uqulihi. []

Komentar