Seni dan Fenomena "Ngemis" Simpati

Ewafebriart.com


Ini hanya sebuah refleksi

Kesenian adalah bagian visual dari ide dan gagasan manusia dalam kebudayaan. Erat kaitannya dengan estetika atau keindahan. Orang dikatakan bahkan dinilai memiliki moralitas yang tinggi saat ia menunjukkan estetik moral (red: andhap ashar). Kebudayaan yang berkembang di sekitar kita adalah warisan dari gagasan dan ide kreatif para leluhur. Kita tidak bisa menghilangkan itu semua. 

Perubahan sosial dan perubahan pola masyarakat tentu karena adaptasi atas perkembangan dan kemajuan yang sedang dialaminya. Tidak masalah, selagi membawa dampak positif atas lingkungan, lebih-lebih dapat meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri. Artinya, setiap ide estetika itu membawa dampak positif bagi semua yang terlibat atas sebuah karya seni itu. Baik pelaku dan objek atas seni itu sendiri. 

Makanya, seni kerap kali diperuntukkan untuk sebuah pertunjukan yang tidak hanya memberikan kepuasan bagi pelaku seni tetapi juga penikmat seni dan masyarakat sekitar. Alih-alih digunakan media sosialisasi juga menjadi media pengaisan citra diri. Bukan untuk eksistensi seniman itu sendiri, tetapi untuk orang lain yang kebetulan sedang memanfaatkan seni sebagai media pemupuk elektabilitasnya. 

Layak, jika kebudayaan dan bagian-bagian darinya cukup menempel dan menjadi basis permukaan yang dangkal. Hanya sebagai klambi amoh yang dibawa kemana-mana untuk menjaga eksistensi itu. Saya kira ini bukan hanya pada kebudayaan semata, tetapi pada hiruk pikuk sosial juga demikian. 

Baru-baru ini, fenomena kesenian, khususnya di Malang sedang berkembang Sound Horeg dan "Bantengan". Mulai dari festival atau Chek Sound (Istilah penampilan Sound Horeg) sampai pola hiasan dan gerak tarian yang disodorkan di dalam kegiatan tersebut. Tarian erotisisme, apakah itu dampak dari ekslusifnya dunia malam atau karena terisolasi dari ruang publik, itu urusan lain. Yang jelas, fenomena ini menuai berbagai pro dan kontra. 

Lebih-lebih yang memiliki daya dan kedalaman berpikir atas kesenian dan kebudayaan itu sendiri. Di satu sisi klaim bahwa kesenian tersebut sudah jauh dari pakem, tapi di satu sisi yang dianggap kesenian itu justru membawa dampak ekonomi bagi banyak masyarakat. Sehingga, pemerintah Kabupaten Malang merencanakan dan membuat peraturan daerah terkait bantengan. sedangkan untuk persoalan Horeg, ternyata sudah dimasukkan sebagai bagian dari seni yang baru. 

Tentu ini memberikan dampak diskursif dari berbagai pelaku dan pemerhati seni budaya. Karena fenomena bersih desa, karnaval dan lain sebagainya justru menjadi ajang dari joged yang dianggap "erotis" dan diiringi sound yang menggeleggar. Walupun hal ini perlu dikaji dan dilihat dari pisau analisis yang kuat. Seperti basisi ekonomisnya, pun basis sosiologis, dan kebudayaannya. 

Jauh dari pada itu, agaknya ini justru menjadi strategi politis yang dapat membentuk stratifikasi bahkan klasifikasi ppro dan kontra. Sehingga lebih jauh dari pada itu ya, mendulang suara. Makanya ruang lingkup yang sedang marak dalam komunikasi sosial saat ini adalah ruang lingkup agama, falsafah, ilmu dan sains, profesi serta seni budaya. Fakta sosial ini sedang dan kerap terjadi. Bahkan menjadi jurus yang benar-benar sakti mandraguna dalam "mengais simpati". 

Namun, bisa jadi anggapan ini salah, karena memang sejatinya strategi politis yang diambil pemerintah kabupaten Malang memang benar-benar untuk meningkatkan kualitas masyarakat melalui seni budaya. Walaupun bentuknya memang sangat abstrak. Jika demikian maka perlu olah dan kajian atas kebudayaan dan kesenian itu sendiri. 

Jika poin utamanya adalah membawa dampak manfaat ekonomis bagi masyarakat, ya kita tidak bisa menyodorkan justifikasi sepihak atas baik dan buruknya seni tersebut. Atau justru sebaliknya, memang ini hanya momentum-momentum yang lalu hilang ketika kemanfaatanya dirasa sudah tidak cair baik bagi masyarakat pun oknum-oknum. Kalau demikian ya yang penting adalah memandang semua itu sebagai rahmat, sehingga yang muncul adalah keindahan. 

Tapi jangan sampai memaknai keindahan itu sebagai betuk otoritatif atas klaim atau kebenaran sendiri. Karena lagi-lagi setiap manusia pasti memiliki keterkaitan dengan manusia yang lain. Begitu juga dalam masyarakat. Mau orientasinya memang pertunjukan, atau alibi atas politis praktis, itu tidak jadi masalah. karena yang terpenting adalah keberpihakan itu benar-benar murni untuk membangun, bukan justru menjadi udang di balik rempeyek.[]   

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Karya nya bagus pak dosen kapan kapan saya di ajak ngopi sambil melukis dunia dengan pena dong

    BalasHapus
  2. Waduh, monggo mas, sharing2 mawon

    BalasHapus