Ngelmu dan Ngalim

Ahmaddahri.my.id - Mingkar-mingkur ing angkara/ akarana karenan mardi siwi/ sinawung resmining kidung/ sinuba-sinukarta/ mrih kretarta pakartining ilmu luhur/ kang tumrap ing tanah Jawa/ agama ageming Aji//

Jinejer Wedhatama/ Mrih tan kemba kembanganing pambudhi/ mangka nadyan tuwa pikun/ yen tan mikani rahsa/ yekti sepa sepi lir sepah asamun/ semangsane pakumpulan/ gonyak-ganyuk nglelingsemi//

"Menghindar dari kejahatan, karena senang mendidik anak, Dibuat dalam bentuk nyanyian yang indah, Dibuat baik dan indah, Agar sejahtera pada perilaku ilmu luhur, yang diterapkan di tanah Jawa, Agama sebagai pegangan raja."

"Dijelaskan dalam Wedatama, Agar tidak kendor dalam berusaha, Padahal walau tua renta, Kalau tidak mengetahui jiwa, Sungguh tidak enak seperti ampas tidak berguna, ada saat pertemuan, Tidak sopan membuat malu." (Jurnal Patra Widya (2014: 274-290)

Dalam Pupuh 1 Pangkur Serat Wedhatama sebuah metafor tentang semangat untuk terus berusaha dan berupaya, adalah satu wejang pengembangan diri. Apalagi ketika sudah dewasa bahkan tua namun belum mengenal jiwa, memahami kehidupan, seyogyanya berusaha terus mencari dan memahami jati diri. Penekanan dalam mencari ilmu memang bukan semata tentang batas usia dan waktu. 

Mirojam_Informationale (Pixabay)

Pada dasarnya, mencari ilmu menjadi bagian penting dalam kehidupan. Agar senantiasa mengenal diri untuk menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Manusia dengan nas yang tak bisa lepas; lupa dan salahnya, maka wajar jika Nabi Muhammad menegaskan dalam pesannya bahwa mencari ilmu itu sifatnya wajib. Bahkan mencari ilmu dimulai sejak lahir sampai bersemayam di liang lahat. 

Mengapa ilmu menjadi sangat penting dalam kehidupan? karena tidak sedikit mbah-mbah kita menegaskan tentang pentingnya menjadi orang yang "ngerti" (dewasa), memahami pengetahuan dan mengamalkannya dengan benar. Pintar itu penting, tetapi "ngerti" itu jauh lebih berharga.

Kontruksi kebudayaan Jawa mengenai ilmu sendiri sangat beragam. Berakar pada kata ilmu akan menjadi "ngalim" ketika seseorang menjadi ahli dalam Kontruksi keagamaan (Faqihu fi addin). Akan menjadi moral yang luhur ketika seseorang tidak hanya "ngalim" tetapi juga "ngamalke" menjalankan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga erat kaitannya dengan pesan Nabi Muhammad bahwa moralitas itu di atas segalanya, termasuk pengetahuan. Pendek kata, seseorang yang "ngelmoni" pengetahuannya, mengamalkan ilmunya walaupun sedikit, Maka akan membuatnya tidak seperti ampas yang tak berguna. 

Fala Naqushanna Alaihim Bi'ilmi, Wa Ma Kunna Ghaaibin sebuah keterangan dalam QS: Al A'raf ayat 77 menegaskan bahwa ilmu itu sejatinya diturunkan dan disebarkan, tinggal bagaimana kita sebagai hamba menangkap cahaya yang berupa ilmu itu. Bahkan ditegaskan pula bahwa Tuhan tidaklah jauh dari hamba-hambaNya. Relasi teologis ini saya kira erat kaitannya dengan islam dan jawa. Kebudayaan Jawa dengan berbagai diksi kontruksinya memberi gambaran tentang pentingnya menggali jati diri, seperti halnya pesan tentang man arafa nafasahu faqad arafa rabbahu. Bahwa mengetahui dirinya sendiri adalah langkah yang meniscayakan untuk mengenali Tuhannya. 

Wajar saja ketika seseorang memiliki ilmu yang luhur akan dikenal dengan "ngalim" atau alim. Tentu dengan kedalaman batin atas dasar ngelmoni laku atau mengamalkan ilmu itu, sehingga memengaruhi olah rasa, olah cipta dan karsanya. 

Dalam Serat Wedhatama juga ada satu bait yang menyebutkan bahwa "agama ageming aji" dalam kebudayaan jawa juga erat kaitannya dengan "agama ageming ati". Di mana pemaknaannya adalah tentang agama menjadi dasar dari orang berperilaku, agama menjadi dasar seseorang memiliki visi sariat yang kuat, agama menjadi dasar spirit keruhanian untuk sampai kepada Tuhan (baca: Wushul) dan lain sebagainya. Barangkali, agama juga menjadi satu dimensi ilmu yang visi dan misinya tidak hanya klaim kebenaran, tetapi lebih pada moralitas. 

Bahwa semua agama mengajarkan kebaikan itu bukan soal, hal ini sudah menjadi pergerakan alami yang tidak bisa diperdebatkan. Tetapi klaim kebenaran inilah yang menjadikan posisi ilmu bukan lagi sebagai citra moralitas. Padahal "ngalim" itu sendiri menjadikan seseorang semakin luas cara pandangnya, menjadikan seseorang semakin "ngastiti" pandai menempatkan diri. 

La ikraha fi addin tidak ada paksaan dalam beragama, dalam bias kehidupan dapat dikatakan bahwa tidak ada paksaan dalam kebenaran. Ngelmu iku kelakone kanti laku (pengetahuan itu atau kebenara itu sendiri harus dipraktikan) agar sejalan dengan realitas kehidupan yang beragam. Ketika memaksakan kebenaran yang tujuannya adalah kemaslahatan, maka bukan lagi kebenaran yang disampaikan tetapi perlawanan dan permusuhan. Secara mental pandangan ini hanya akan melahirkan logosentrisme atau egoisme semata. 

Untuk menjadi manusia (baca: dadi wong) perlu adanya kematangan dan kedewasaan (baca: njawani). Baik kematangan material maupun spiritual (berupa akhlak, pendewasaan, budi luhur dan lain sebagainya) adalah modal aksiologis yang utuh untuk menuju pada kemanusiaan yang lebih matang (baca: manusiawi). Pada dasarnya proses menuju kepada kematangan berpikir membutuhkan penempaan diri dan sikap kontemplatif sembari evaluasi diri, mengenali diri lebih dalam lagi.[]

Komentar