Dalam rangka memperingati ulang tahun Mbah Nun atau Emha Ainun Nadjib yang ke-72, Pancasuman dengan tagline utamanya “kenduri kampung” mengusung semangat sinau bareng, melingkar bersama dalam merawat perjumpaan.
Mbah Nun adalah representasi perjalanan dalam menebar kemaslahatan. Menjadi manusia ruang dengan menerima semua golongan dan karakter manusia. Melalui forum-forum maiyah Mbah Nun kerap mensublimasikan nilai-nilai untuk senantiasa bertahan hidup, bermanfaat bagi liyan, dan meneguhkan keimanan kepada Sang Maha Cinta.
Pendekatan yang tidak dibatasi oleh ruang-ruang fakultatif, namun memberikan impact yang luar biasa, khususnya bagi generasi muda saat ini. Berbagai simpul dan lingkar maiyah di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri menjadi bukti bahwa semangat sinau bareng senantiasa menjadi ruang-ruang perjumpaan.
Tidak hanya menumpahkan kerinduan, tatapi juga membangun kedewasaan berpikir, merenungi pola dan gerak kehidupan, menentukan sikap dalam mengambil keputusan, dan yang tidak kalah penting adalah mengetahui asal usul. Mikul duwur mendhem jeru.
Ada tiga wilayah kemanusiaan yang harus senantiasa menjadi landasan pergerakan; wilayah nilai, wilayah pemikiran dan wilayah empiris (perjumpaan-perjumpaan). Konsep sinau bareng pada dasarnya memberi gambaran bahwa setiap manusia senantiasa belajar, membaca, dan merenungkan apa yang dijumpai dan dialaminya.
Belajar kepada sesama, seperti halnya belajarnya murid kepada guru, atau guru kepada murid. Artinya duduk bersama dan saling memahami menjadi dasar dari proses sinau bareng. Karena sudah menjadi seorang guru lantas berhenti belajar, tentu tidak. Ia harus belajar mengenali dan memahami setiap karakter muridnya. Pelajaran itu bisa lahir dari mana saja, begitu juga pengetahuan.
ilustrasi by Barbara808/pixabay
Wilayah nilai adalah kondisi yang menunjukkan peran moral sebagai ujung tombak dari perilaku sosial. Contoh sederhana, tidak boleh mengejek bahkan membunuh karakter orang lain demi meninggikan diri di depan umum.
Lebih luas lagi jika lingkaran kehidupan ini dimulai dari menghirup udara segar, oksigen yang diproses oleh dedaunan, maka menebang pohon sembarangan, menjadi bentuk perilaku tidak terpuji. Apalagi sampai merusak hutan dan menjarah kekayaan alam dengan rakusnya.
Begitu juga dengan berebut benar, agaknya dewasa ini saling berbantah dan membenarkan diri sendiri sudah menjadi kebiasaan. Enggan ketika semangat kerukunan itu dibangun. Rasa kebersamaan bukan lagi milik semua, tetapi dimiliki secara kolektif oleh kelompok tertentu.
Memberi rasa aman atas saudara sebangsa dan setanah air kerap terkendala oleh kepentingan-kepentingan. Kemanusiaan bukan lagi menjadi spirit yang tumbuh dari hati nurani, melainkan isapan jempol semata.
Dalam tradisi jawa dikenal mangan ra mangan sing penting ngumpul, ojo rubuh gedang sak oyote, ojo dirende-rende nganti geddhe. Bahwa yang paling penting adalah kebersamaan, saling memberi solusi atas berbagai problem yang dihadapi, tidak acuh serta memiliki sensitivitas. Ini menjadi wilayah pemikiran yang harus memiliki ruang, sudut dan jarak pandang yang tepat.
Sebagai makhluk sosial, bahkan diberi anugerah oleh Tuhan berupa ahsan attaqwim, sebaik-baiknya cipataan Tuhan, manusia dilengkapi dengan akal dan nurani, cara dan pola berpikir, menjadi wajib untuk menunaikan kehidupan dengan pondasi kemaslahatan, kebermanfaatan bagi semua. Katanya, sebaik-baiknya manusia adalah ia yang bermanfaat bagi liyan. Artinya yang menjadi garis tebal bagi manusia adalah kebermanfaat dan kemaslahatan.
Hal itulah kira-kira yang menjadi dasar kebersamaan dan cinta yang dibangun dalam perjalanan maiyah, sinau bareng Mbah Nun. Mas Ardi atau Ki Dalang Ardi pernah menjelaskan bahwa berbicara tentang Cak Nun, maka berbicara tentang cinta, dan berbicara tentang cinta berarti berbicara tentang kehadiran, dan berbicara tentang kehadiran maka bukan semata bersifat materi, tetapi juga immateri. Itulah mengapa ketika ingatan kita tertuju pada Mbah Nun, begitu juga ingatan itu tertuju pada orang tua, para guru dan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Karena memang semua melingkar dalam naungan dan ruang yang dinamakan cinta.
Kebermanfaatan dan kemaslahatan tidak bisa lepas dari cinta. Kebermanfaatan melahirkan kebersamaan. Sedangkan kebermanfaatan yang luhur sudah dicontohkan oleh kedua orang tua kita, guru dan semua perjumpaan cinta, terlebih cintanya Kanjeng Nabi Muhammad kepada kita semua.
Seperti halnya yang disampaikan Gus Agus, bahwa pendidikan keluarga itu penting sekali untuk mendasari keteguhan hati dan kesinambungan logika. Manusia akan menjadi manusia ketika ia dapat menyeimbangkan ruang kedap suaranya dengan ruang riuh atas pembacaan-pembacaan sosial. Mampu merenungi problem yang dihadapi dalam kehidupan dengan atau tanpa merepotkan siapapun, melainkan kedalaman dan keluasan cara berpikirnya, intinya adalah bagaimana menebar dan menumbuhkan kebaikan, baik untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Apa yang senantiasa ditanamkan dan diajarkan Mbah Nun akan menjadi bagian dari proses belajar dan proses ngaji anak cucu. Metafor, satire, syair, puisi dan berbagai kalimat mutiara bukan semata digunakan modal eksistensi, tetapi modal bergerak, modal kebermanfaatan sampai pada kemaslahatan. Tadabbur adalah prinsip untuk senantiasa membaca dan mempertautkan prinsip kepekaan dan prinsip praktis kebermanfaatan sebagai makhluk sosial.
Pak Eko misalnya, dengan prinsip keteguhan untuk maslahah, ia terobos paradigma umum di dalam masyarakat yang kerap hidup individualistik menjadi saling berpihak dan berbagi. Dinamika pasti ada tapi ia telah dan senantiasa mempraktikkan apa yang ia renungi dari sinahu bareng Mbah Nun menjadi pola aplikatif dalam lingkungan sekitarnya di Desa Banjarejo.
Sedekah RW, Merawat keberagaman sikap pemuda-pemuda desa, Pengolahan sampah dan berbagi kegiatan yang kadang memaksanya untuk senantiasa tampil dan menjadi mobilisator, tentu ini berbanding terbalik dengan keinginannya untuk tidak senantiasa tampil, baginya “nguwongne uwong luwih apik, daripada diuwongne, apalagi ingin disegani dan dianggap”.
Perjumpaan lain dengan Gus Nanang misalnya, tokoh yang senantiasa merawat jamaah di ruang-ruang sunyi sepi dari publik, mengencangkan gerak spirit religious dan spiritualitas adalah bagian lain dari sisi kemanusiaan. Tidak sedikit orang yang terhijabi oleh rasa pemenuhan, tapi justru acuh pada dirinya sendiri. Baik, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Sehingga ruang-ruang sunyi itu senantiasa Gus Nanang rawat agar orang-orang dengan kecenderungan menemukan dirinya sendiri melalui jalur tersebut dapat terwadahi.
Perjumpaan-perjumpaan tersebut membuktikan bahwa apa yang disampaikan Mbah Nun menjadi nilai untuk dielmoni, dilakoni kanti laku. Bukan sebatas anjang sana anjang sini, rea-reo, memupuk eksistensi diri sendiri. Tidak jarang untuk menyadari bahwa kehidupan dan kebersamaan itu lebih besar dari pada manusia itu sendiri sulit untuk dipahami. Perlu kehadiran cahaya agar terang kesadaran dan lakunya.
Merawat perjumpaan tentu menjadi media belajar, karena memang proses sinahu sejatinya tidak ada status pembeda, semua siswa, semua guru, semua sinau. Tidak dibatasi usia, senior, junior, atau status apapun. Jebakan kesombongan bukan semata ada pada status sosial, kekayaan, kedigdayaan, kuasa, tetapi juga kealiman. Sehingga memicu kekhawatiran dan keterusikan.
Padahal di ruang-ruang sunyi, di gang-gang, di plosok-plosok desa justru menjadi mercusuar ruang belajar, sinau, melingkar, bukan untuk dirinya, tetapi untuk kemaslahatan. Kadang direndahkan serendah-rendahnya, tidak dihiraukan, bahkan dianggap tidak ada sama sekali. Bagi kebanyakan yang dekat dengan sumber cahaya, maka ialah yang ada, tanpa menyadari silaunya, gelap mata, dan delusi sandaran.
Semoga kita semua senantiasa terciprati cahaya dari Rahman rahimNya, serta senantiasa berada dalam jalur gondelan Kanjeng Nabi Muhammad. Dan semoga senantiasa semangat dalam proses belajar, merawat perjumpaan-perjumpaan agar senantiasa melahirkan kegembiraan-kegembiraan.[]
Komentar
Posting Komentar