Bagaimana mungkin Buto atau Rajakala Jaramaya yang ditakuti oleh wadyabala dan warga kerajaan Mandura saat itu ditebas kepala dan terkapar badannya oleh pemuda bernama Palasara? bahkan Raja Jin yang terkenal sakti mandraguna dan bengis itu tunduk tak berdaya.
Bukan karena kasekten yang dimiliki Palasara, sehingga ia mampu mengusir Buto Rajakala. Melainkan laku prihatin dan serah diri atas segala pemberian dari Gusti. Tentu berkat bisikan dan saran dari Mbah Semar Wangsagatra. Palasara telah melepas kemelekatannya sebagai putra dari Raja Seberang, ia berjalan mengikuti kata hati, melewati lembah, sungai, keluar masuk hutan, dan naik turun di gunung yang terjal.
![]() |
Image By Sir-Tommy/Pixabay |
Laku prihatin tidak semata dimaknai dengan menyengsarakan diri. Bukan juga menyiksa diri, lebih-lebih sampai soro, sedih, dan nelongso. Bagi Palasara dengan Pembimbingnya Mbah Semar, laku prihatin adalah proses penempaan diri, proses menahan diri untuk menyengsarakan orang. Merampas hak, membuat kegaduhan, apalagi memancing orang lain untuk iri padanya.
Bagi Semar, laku prihatin menjadi satu kewajiban untuk senantiasa menyiapkan hari esok. Kenal dengan dirinya sendiri, seperti halnya mengenal kedalaman orang lain. Justru kalau bisa ya tidak usah pusing dengan orang lain. Fatwa hati, kehendak suci yang mengantarkan diri pada kejernihan berpikir, merenungi berbagai perjumpaan, menjadi laku untuk menatap hari esok.
Jika peristiwa hari ini justru menjadikan diri sebagai pemicu orang lain tumbuh rasa dengkinya, maka menjadikan diri agar tidak jadi pusat perhatian orang lain tentu lebih mulia, dari pada nggrangsang ingin dilihat dan dipuji sana-sini. Terlepas alasannya seperti apa, yang jelas laku prihatin seperti yang dilakukan Palasara adalah salah satu bentuk mengubur diri dalam-dalam, fokus pada apa yang dititahkan Sang Gusti padanya, pada manusia dengan predikat titah Sang Hyang.
Wal tandzur nafsun maqaddamat lighat, mbok yaho, yang sering-sering bertafakkur, prihatin atas polah yang sudah dilalui, untuk menjadi bekal menjalani hidup esok hari. Mbah Semar kerap menasehati Palasara, agar senantiasa bercakap dengan dirinya sendiri, merenungi setiap tingkah dan polahnya. Sudah benar apa belum, kalau sudah benar, kira-kira apa sudah pantas, kalau sudah pantas apakah sudah mawas, kalau sudah mawas, apakah sudah pas?
Jangan sampai, tingkah laku polah yang dijalani justru lepas kendali dari kesadaran berpikir, dan kejernihan hati. Jangan terjebak ya jangan memancing. Merasa boleh, tapi jangan sampai memicu kepura-puraan, sehingga hanya menjadi seakan-akan. Merasa baik, merasa benar, merasa pintar, merasa rajin, merasa tawadlu'. Semua benar, menjadi tidak benar karena hanya menyisakan "seakan-akan".
Palasara bukan ingin memenangkan atau dikalahkan oleh berbagai kebisingan dan berisiknya capaian-capaian. Melainkan menata mentalnya untuk menghadapi menang dan kalah itu sendiri. Menyikapi berbagai "seakan-akan" yang kerap memicu meletusnya gunung arogansi dan egois.
Mbah Semar menemani Palasara, karena kesungguhannya menata mental. Mental yang siap dengan berbagai rupa rasa sakit dan bahagia. Boleh saja merasa paling sakit, asal tidak lupa pada rasa sembuh. Boleh juga merasa tinggi, asal tidak lupa ada tanah paling dasar yang saat melihat matahari menyilaukan mata.
Palasara belajar membumi, menyadari ia bukan siapa-siapa, ia hanya kebetulan saja lahir sebagai anak raja, tetapi ia sadar ia hanya manusia yang lahir tanpa kemelekatan apa-apa.
Seperti halnya bayi, yang lahir tanpa busana, Palasara sadar ia akan pulang keharibaan juga tanpa sehelai benang sutra sekalipun. Mensukuri kesadaran adalah bagian dari merayakan kehidupan. nggambleh.[]
Sumber Bacaan "babad Tanah Jawa" oleh Dr. Purwadi M.Hum.
0 Komentar