Memberi Tidak, Malah Merepotkan

Kalau saja diskusi-diskusi, seminar-seminar dan berbagai rangkaian pelatihan itu benar-benar berdampak, pastilah tidak ada kesenjangan yang membatasi kualitas, kapasitas dan integritas personal. Apalagi yang sering kajian, ngaji, dan berbagai ritus hijrah lainnya dapat dielmuni sedemikian rupa, bisa jadi rasa malu itu justru ada di depan hidungnya lebih awal dari hembusan nafasnya. 

Sayangnya, tidak sedikit yang kerap mengunggah, shar-sher, broadcast, dan memenuhi sosmednya dengan kata-kata, kutipan-kutipan dari hasil aktivitas di atas, namun terhenti begitu saja. 

Lha, kog gitu? buktinya masih kerap suka nguping, suka ngedumel, tebar pesona, bangun citra, membunuh karakter liyan, tebar gosip, umbar aib, bahkan tidak ada yang paling suci selain dirinya, diri yang belum terjebak pada juglangan, terjerembab pada selokan-selokan. 

Pertanyaannya adalah, ngaji seprono seprene gawe opo, gelar berjajar membubuhi namanya lantas sama sekali tak berimbas pada pola pikir dan ketajaman sensitifitasnya. Masih sering terombang-ambing angin dari luar seperti flying monkey. Contohnya si Anu bilang tempe itu enak, ikut-ikutan bilang enak, padahal si Anu sama sekali tidak suka tempe, ia hanya ingin orang lain makan berlauk tempe, sedang dirinya tetap makan ayam geprek nambah dua kali.

Ilustrasi by Naturework/Pixabay

Bangsa ini memiliki pilar yang kuat, di samping rakyat sebagai penguasa sejatinya, ada intelektual dan para agamawan. Dari para intelektual itulah lahir berbagai institusi pendidikan. Sedangkan dari para agamawan lahirlah para kaum religius. Lantas mengapa kering kerontangnya untuk saling aji, saling asih dan asuh, saling rangkul dan jabat, yang ada lakok saling jegal, eman kursinya diambil orang, sampai adu sana sini, combe sana sini. 

Martabatnya merasa terancam sehingga perlu membunuh orang lain. Takut hartanya berkurang, lalu korupsi dihalalkan. Yang paling parah adalah jualan aib orang lain agar bisa bertahan, dan menjaga "kesuciannya". Jadinya kok justru melebihi setan yang kerap disalah-salahkan.  

Para bijak kerap bilang, bahwa tebarlah kebaikan, kalau tidak bisa ya jangan merepotkan orang. Makan daging itu enak, kalau daging saudaranya sendiri apakah sebegitu menggairahkan, kok sampai setega itu mengunyah, mengoyak, bahkan membredelnya. 

Siapa yang tidak pernah hinggap dalam kesalahan? atau karena namanya saleh, lalu ia selalu saleh dalam hidupnya? agaknya tidak. Setiap orang pasti punya salah. Itulah alasan mengapa selalu ada jalan pulang. Sankan paran, setiap jalan pulang pasti ada penyesalan. Memulai kembali dan menuju pada kepantasan adalah upaya untuk senantiasa bersyukur padaNya. Jadi bukan masalah orang itu salah atau benar, justru masalahnya adalah sadar dan bersyukurkah ia? kalau tidak, mengapa harus merugikan orang lain yang sama sekali tidak minta makan padanya?

Kalau hal itu adalah fitrah dari manusia, maka sedangkal itukah penciptaan. Kalau hanya untuk bercerai berai, mengapa harus berpegang teguh pada tali persaudaraan. Kalau hanya untuk menghakimi kesalahan lantas untuk apa ada pintu pertaubatan? Katanya jami'an, praktiknya kok sendirian. 

Mbah Nun kerap menyinggung bahwa hati orang kecil memang tahan banting, bahkan tidak bergeming atas berbagai penderitaan, tekanan, dan himpitan. Orang kecil dalam hal ini bukan mereka yang bertubuh kecil, miskin atau sama sekali tidak punya apa-apa. Tetapi mereka yang tidak memiliki kesempatan, lebih tepatnya tidak diberi kesempatan, ruangnya dikunci, disingkirkan, dikucilkan, dihina-hina, bahkan dijelek-jelekkan. 

Orang kecil itu justru tumbuh atas usaha dan besar atas tekanan-tekanan. Tidak harus korupsi, ngutil BOS, zakat, dan pajak, apalagi sampai ngoplos BBM. Artinya orang kecil itu tidak tergiur dengan itu semua. Mereka berdikari dan percaya atas Rahman RahimNya

Orang kecil tidak pernah mengancam siapapun, justru tidak sedikit yang merasa terancam dengan orang-orang kecil. Merasa terusik, bahkan terganggu, padahal orang kecil tidak pernah mengganggu siapapun. Ia hanya fokus pada menjalani hidup dan mencukupi kebutuhan keluarganya. 

Oleh karena itu, bahagiakan saja hidup ini, kalau tidak bisa maka jangan membuat orang lain repot. Jangan membuat orang lain kesusahan, hargailah perjalanannya. Karena setiap perjalanan tidak selalu menemui jalan yang mulus, pasti berlubang, penuh kerikil, bahkan curam dan licin. nggambleh.[]

Posting Komentar

0 Komentar