Belajar Menerima Sebelum Memberi

Maka, Nikmat (rahman dan rahmin) yang manakah yang masih kamu ragukan? Sepenggal ayat (55) dalam QS: An-Najm mengalasi perjalanan manusia sebagai makhluk untuk senantiasa bersyukur. 

Bersyukur adalah istilah  yang kebanyak orang mangatakan begitu enteng,  tentu sebaliknya ketika dipraktikkan. Ada berbagai kecemasan yang datang dari waktu kemarin, dan masa depan. Khawatir atas berbagai hal yang sudah terjadi, dan rangkaian di masa mendatang. 

Bagi para pemikir, sikap ini adalah bagian dari proses tergerusnya kesehatan. Sehat secara mental, pikiran dan cekaknya hati (overthinking). Tentu hampir tidak sedikit yang mengalami kecemasan dan kekhawatiran. Berbagai problem kehidupan pasti akan dilalui dan dijumpai. Dan idealnya adalah tidak seharusnya terjebak dalam situasi yang over, seharusnya bersyukur, memahami dan mengambil pelajaran dari setiap perjalanan

Ilustrasi by manseok_Kim/pixabay

Kata dasarnya adalah syukur, paham, ambil, ajar dan jalan. Setiap titah, atau manusia secara ideal harus berjalan. Kemudian memahami aturan dan setiap kebijakan dalam perjalanan itu. Agar dapat diambil pelajaran. Sebelum itu harus memahami dulu aturannya, tentu dengan berbagai pendekatan dan disiplin pengetahuan. 

Agar sampai pada proses syukur manusia dituntut untuk mampu memahami, merenungi, mempelajari dan menjalani. Dalam beberapa kalimat motivasi yang kerap tampil di sosmed dan jadi status WA, dikatakan bahwa bukan kemarin atau besok, melainkan hari ini adalah kehidupan yang sebenarnya. Sepakat, tetapi kumpulan abstraksi yang diterima dari perjalanan kemarin pasti mempengaruhi perjalanan hari ini, bahkan ke depannya. 

Dalam beberapa diksi juga dikatakan, akan menjadi perjalanan kehidupan yang semestinya ketika kita tidak menertawakan orang lain, melainkan menertawakan diri sendiri. Kalimat ini didapuk menjadi piranti untuk sampai pada hidup yang sebenarnya. Karena tidak terikat oleh kemelekatan-kemelekatan yang menjebak diri. Tertawa adalah puncak dari mensyukuri pemberian Tuhan, walaupun hal ini perlu perenungan panjang dan mendalam. 

Pancasuman pict by Dahri Gubuk Klakah


Secuil Desa Ngadas by Dahri


Lalu bagaimana dengan kondisi yang nihil sensitifitas, nihil kepedulian? tidak ada sikap salah, atau apapun keburukan yang bisa dibenarkan. Tetapi apakah kebaikan dan segala usaha memperjuangkan kehidupan di sekelilingnya justru terhapus oleh satu atau dua kesalahan yang dilakukan? jika demikian untuk apa ada nilai dan norma. Untuk apa berbondong-bondong mengalisis etika. Karena ujung-ujungnya adalah kepura-puraan, bahkan hanya sebagai jalan pintas menutup mata dan telinga. 

Terkadang, fokus manusia hanya pada apa yang terakhir kali dilihat. Semisal ada ibu-ibu, janda, tua dan mengurus cucunya yang ditinggal oleh ibu kandungnya tanpa kabar. Kondisi yang semakin sulit memaksanya untuk melakukan hal yang dianggap "buruk", mencuri. Mencuri memang tidak dibenarkan, ia melakukannya karena keterpaksaan, dan penghakiman atas keterpaksaannya itu menutupi usaha dan perjuangannya selama ini untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kehidupan yang lain. 

Umpama lainya, ada seseorang yang ditinggal suaminya entah kemana, sedangkan di sana ada anak yang butuh kasih sayang dari seorang ayah, bahkan keluarga itu butuh makan dan uluran tangan tanggung jawab dari seorang ayah. Nahasnya, kondisi kehidupannya semakin sulit, demi anak dan keberlangsungan hidupnya seorang ibu itu melakukan tindakan yang jauh dari kata mulia, menjual diri. Salah? pasti, dan dapat dipastikan kebanyakan hanya menghakimi tanpa melihat alasan yang melatarbelakanginya. 

Tidak ada norma atau aturan yang ketika dilanggar akan bernilai baik. Salah, pasti, tetapi mengapa tidak disisihkan dalam diri untuk melihat lebih jauh dan dalam setiap situasi? mengapa sukar sekali untuk mengambil pelajaran, masuk pada rasa memahami, peduli apalagi. Sehingga ruang yang katanya hitam dan putih itu justru menjadi buram identitasnya. Abu-abu. 

Alangkah akan menjadi pelajaran yang bernilai ketika mau belajar menerima, menerima berbagai kondisi, realitas dan tanpa menghakimi siapapun. Sehingga menjalani adalah proses pembelajaran yang seharusnya bernilai sebagai upaya membangun kembali. Bagaimana mau bersyukur, jika senantiasa diliputi rasa bangga atas kebaikan diri, lalu menghakimi bahkan menggelar keburukan orang lain. 

Bisa jadi memang cakra manggilingan itu berlaku, tidak ada yang senantiasa berada pada jalan lurus, pun juga tidak ada yang selalu berada pada selokan yang bau dan penuh dengan belatung. Akan ada waktunya untuk mencicipi peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai dengan harapannya. Alhasil semua itu perlu dipelajari dan diterima, untuk kemudian bisa disyukuri. 

Belajar menerima sebelum memberi, belajar menziarahi diri sebelum melenggang pergi. Pesan ini dulu disampaikan oleh Pak Umbulandu Paranggi di Jati Kampung Sastra, saat memberi wawasan dalam menulis itu perlu kejujuran. Dan menulis menjadi ibarat dari sebuah perjalanan. Di mana harus dilalui bagaimanapun medannya. 

Jika memberi saja tidak, minimal jangan mempersulit. Jika menolong saja tidak, minimal jangan menjerumuskan. Jika peduli saja tidak, maka jangan pernah meminta. Nggladrah. []

Posting Komentar

0 Komentar