Sumber Gambar: Pinterest |
Jika anda melihat roti maka akan muncul rasa ingin tahu dari apa sebenarnya roti tersebut, lantas bagaimana cara membuatnya? Setelah itu untuk apa orang membuat roti? Pertanyaan dasar seperti inilah yang seharusnya setiap orang pikirkan dan tampung dalam perbendaharaan dialektika kehidupannya, tidak lantas kemudia memberi kesimpulan bahwa roti itu enak dan mengenyangkan, tanpa tahu bahan dan cara pembuatannya.
Fenomena ini kerap salah kaprah dalam dunia pendidikan (walaupun tidak semua) di mana dengan harapan semakin banyak lembaga pendidikan mulai dari yang masih dasar sekali yakni kelas usia dini sampai pada kelas-kelas diskusi bebas para mahasiswa, masih saja menganggap bahwa jika memasuki dunia pendidikan maka akan bertemu dengan tugas-tugas dan pencapaian-pencapaian yang bersifat kompetitif, padahal prinsip pendidikan adalah wiyata atau pendampingan dan penumbuhan rasa tanggung jawab.
Setidaknya pendidikan yang sesungguhnya dimulai sejak ia pertama kali dalam gendongan sang ibu lebih tepatnya pendidikan keluarga yang memberi ruang sebebas-bebasnya pada anak untuk menemukan dirinya dalam setiap apa yang ia lakukan dengan adanya bimbingan dari keluarga terutama orang tuanya, karna disanalah anak akan menemukan rasa tanggung jawab akan apa yang harus ia lakukan pada usia dan masa-masa tersebut.
Dengan demikian tanggung jawab bukan hanya pada masalah yang bersifat principal dan empiris saja, namun juga pada sesuatu yang melekat secara fitrah dalam diri anak tersebut.
Langkah awal penyadaran inilah yang kemudian merangsang setiap anak untuk belajar menjadi pribadi yang selalu berkembang, kata kuncinya adalah selalu mengapresiasi, di mana hal tersebut pun juga menjadi salah satu kebutuhan scunder satiapa manusia, yakni rasa ingin diapresiasi, dipuji dan dibanggakan.
Oleh karnanya harus ada apresiasi yang berupa apapun terhadap anak atau peserta didik agar mereka tahu bahwa sebenarnya secara fitrah mereka memiliki kemampuan yang sangat berpotensi untuk mengembangkan pribadinya dan bermanfaat bagi sesama nantinya, dan hal ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dengan segala potensi yang mereka miliki (fi ahsani taqwim).
Yang jika dikembalikan pada pernyataan diatas bahwa roti terbuat dari apa dan bagaimana caranya maka manusia atau peserta didik yang dilahirkan dalam bentuk penciptaan dengan segala potensinya maka akan meraih kebaikan (Hasan) dan menjadi pelaku penyadaran tanggung jawab yang baik (Muhsin). Allahu a'lam.
0 Komentar