Menulislah Selagi Bisa, Siapa Tahu Minggu Depan Sudah Dilarang


Beberapa hari ini saya menerima beberapa tulisan dari teman-teman mahasiswa di STIT Ibnu Sina. Kabarnya, mereka sedang semangat-semangatnya bergelut dengan tulisan dan wacana. 

Sekitar 6 tulisan yang masuk ke WA saya Minggu ini. Tema dan gaya tulisan mereka tentu beragam dan memiliki keunikannya masing-masing.  Pesan dan wacana yang dibangun memiliki objek pembaca yang beragam. 

Ada yang mengusung tema keluarga, pergerakan mahasiswa, realita pendidikan, realita konflik dunia, sampai yang bucin-bucinan. Dari semua tulisan yang saya terima ada dua judul yang membuat saya benar-benar penasaran dan membaca berulang-ulang; "Maunya Afirmasi, Gantungan Kunci Komunikasi" dan "Palestina menggugat Tuhan". 

Tulisan yang pertama mencoba membuka kaca benggala tentang pentingnya komunikasi yang terbuka. Tidak main lempar kesimpulan. Apa-apa itu dikaji konteksnya bukan sembarang kunci inggris digunakan untuk membuka baut kecemasan atas realita sosial yang terjadi.  

Untuk melegitimasi kemampuan dirinya dan asah Kanuragan sampai rasa paling suci atas orang lain disampaikan dalam tulisan itu. Memang dewasa ini banyak kamuflase-kamuflase kesucian, kesopanan bahkan menjadi 'si paling' ini dan itu. Pokoknya de bes lah. 

Biasanya untuk menjaga Marwah dan wibawanya harus menjatuhkan orang lain atau menganggap orang lain kurang ketimbang dapurane. Ini wajar, karena kaleng kosong kian nyaring. Ibarat kayak dalam tempurung, kalau sudah dibuka pasti loncat kemana-mana. Hilang arah dan pegangannya. 

Saya cukup menikmati tulisan pertama dengan seruput demi seruput kopi sambil menyelipkan sebatang rokok di ujung bibir. 

Tulisan yang kedua tentu tak kalah menarik. Bagaimana penulis menawarkan refleksi pembacaan ayat al-Quran yang menceritakan tentang Palestina dan Bani Israil.  Penulis adalah Marita, mahasiswa semester 3. Ia mencoba menjelaskan konflik Israel dan Palestina dengan kacamata pembacanya. 

Media memang penyampai informasi, pewarta yang bisa meramu informasi agar menjadi sangat menarik untuk dibaca. Penulis mencoba mengambil informasi terkait konflik tersebut dari berbagai media, lalu mengafirmasi heroisme Hammas sebagai wujud dari perlawanan dan kebangkitan Palestina. 

Yang menarik adalah, penulis mencoba menawarkan persinggungan dogmatis dan analisis ekonomi yang menjadi biang kerok konflik di sana. Bagaimana mungkin, konflik itu terjadi hanya untuk alasan ekspansi, pasti ada lumbung kekayaan yang diincar di Palestina. Kita tahu di sana ada lumbung minyak. Di Indonesia juga begitu kok, Papua, Rempang, Wadas, Proyek PLTU dan lain sebagainya. 

Alasan kesejahteraan menjadi dasar dari rangkaian konflik yang terjadi. Tapi apakah dasar itu cukup untuk meyakinkan masyarakat luas? Belum lagi kasus korupsi yang kian terbuka borok dan bosoknya

Dari sini saya mencoba memahami semangat menulis dari penulis pertama yaitu mas Fajrul dan penulis kedua yaitu Marita, mereka mencoba mengungkapkan kegalauan atas realitas yang carut marut, dedel duwel, ruwet, dan saling sengkarut. Lantas apakah mereka cukup dengan satu wacana itu kemudian membuka pintu gerbang kesadaran semua pembaca? Saya kira ya Ndak semulus itu bro. Butuh keistiqamahan dan jangan malas menempa diri, merefleksikan segala proses perjalanan, sampai pada akhirnya menemukan basis gagasan dari dalam diri yang seotentik mungkin. 

Kita boleh besar dan mulia di lingkungan kita, di mayoritas kita, tapi ingat akan ada yang menuju pada keterasingan, karena awal mula kehidupan itu adalah keterasingan.  

Menulis adalah proses kedap suara dengan riuhnya wacana. Jadi ya ayo ngopi. Hehehehe.

Posting Komentar

1 Komentar