Jangan Serius-serius Menyaksikan Kebohongan

Pixabay/andreas

Setiap lima tahunan pasti gejolak dan persinggungan politik para politisi selalu menjadi hiburan. Ada yang istiqamah dengan keprihatinannya.  Ada juga yang suka ngeprank.  Ada juga yang diam tapi sambil mengamati,  koalisi mana yang menguntungkan.  

Politik di Indonesia tidak lepas dari siasat kepentingan. Apapun bentuknya pasti selalu menggunakan siasat.  Agaknya ini searah dengan pandangan bahwa manusia di samping sebagai masyarakat sosial,  atau makhluk sosial.  Tetapi juga sebagai penggerak sosial (Polis toicos).  

Kebohongan,  itu sudah biasa.  Janji-janji yang memenuhi ruangan-ruangan kita itu biasa terlontar di musim lima tahunan.  Jangan terlalu berharap biar tidak sakit hati.  Kira-kira ditanggapi biasa saja,  tapi sambil memperhatikan keseriusan dan kesungguhannya.  

Pemimpin yang jujur tentu sulit untuk ditemukan.  Idealisme sosial terkadang berbanding terbalik dengan harapan,  kajian dan teori yang mengawang-awang.  Kan kebutuhannya sepiring nasi dan saldo ATM.  Untuk menguji seorang pemimpin maka kita lihat kadar kebohongannya.  

Dalam tulisannya L. Murbandono Hs. (2023) dikatakan bahwa Atas nama kebenaran orang bisa berbohong (Alfred Adler). Dusta bisa dilakukan dengan diam (Miquel de Unamuno). Kebohongan itu rumit sebab sering dinyatakan dengan amat sopan (John Ruskin). Kebohongan menjadi biasa saat banyak ukuran moral macet sehingga segala penyimpangan tampak absah (Susan Sontag).

Dengan kata lain,  dalam kontestasi siasat politik pasti ada kebohongan.  Mau itu kebohongan jahat,  putih ataupun kebohongan iseng. 

Kalau anda perhatikan di media sosial akhir-akhir ini banyak kebohongan yang disulap menjadi kebenaran,  dan sebaliknya ada juga yang dipertontonkan dan diumbar-umbar.  

Lantas,  kebohongan yang mana yang sering kita jumpai? 


Posting Komentar

0 Komentar